Tuesday, 22 December 2009

Tentang Jendela dan Manusia Seberang

Di rumahnya ada banyak jendela. Tiap jendela mempertontonkan sisi dunia yang berbeda, dari kebun bunga hingga pencakar langit. Jika mereka dibiarkan menganga, angin yang singgah membawa aroma yang berbeda pula. Ia suka merentangkan daun jendela dan mencoba menggapai dunia lewat mulut mereka yang menganga.

Tapi ada satu jendela yang kukuh menolak membuka. Sekeras apapun ia mendorong, mulut itu tak juga sudi menganga. Dan jangankan daun jendela itu mau membuka, ia bahkan tak yakin akan adanya daun jendela. Jendela aneh ini juga tampaknya terlalu sombong untuk memamerkan sebagian dunia. Paling tidak yang dipilih si jendela bukan dunia yang ia kenal. Jendela itu menghadap ke dunia yang sangat aneh!

Di balik kaca jendela terbentang dunia yang terlihat seperti dunianya. Pemandangan yang familiar, tapi terasa.. aneh! Matanya berani bersaksi pernah berkenalan dengan tempat itu, tapi hatinya selalu meragu, tempat itu terasa asing baginya. Ada yang janggal, berbeda.

Anehnya dunia itu tampaknya tak menghalangi manusia lain untuk menghuninya. Ia kerap menangkap sekelebatan bayangan manusia. Malah terkadang, manusia di dunia seberang jendela akan balas memandanginya dengan mata berlapis rasa penasaran.

Ia tak pernah keluar dari rumahnya. Sebenarnya ia ingin. Ia ingin bermain di luar rumah seperti anak-anak lainnya yang bersepeda di depan rumahnya. Terlebih lagi, ia ingin berlari. Ia ingin berlari di kebun belakang rumahnya dan mengejar kupu-kupu.

Ia pernah bertanya pada ibunya perihal pengurungannya ini. Ibunya tak menjawab. Ibunya malah berkata, ia cantik sekali, lebih cantik dari kupu-kupu yang berkejaran di taman. Tapi sayang, kata ibunya lagi, ia jauh lebih rapuh dari kupu-kupu manapun yang pernah terbang. Ia tak sepenuhnya mengerti, tapi ia berhenti bertanya.

Maka hari-harinya habis untuk menengok jendela-jendela. Jendela yang mengarah ke kebun bunga di musim semi. Jendelah yang mengarah ke padang rumput di musim panas. Jendela yang mengarah ke hutan di musim gugur. Jendela yang mengarah ke kota yang penuh dekorasi dan cahaya lampu warna warni di musim dingin. Dan jendela yang mengarah ke danau di saat hujan.

Tapi yang paling ia sukai adalah jendela yang aneh itu. Lebih tepatnya, ia suka pada manusia di seberang jendela. Sepertinya manusia seberang adalah perempuan, karena manusia seberang pernah muncul mengenakan gaun yang indah, mirip gaun yang dibelikan ibu tahun lalu. Sayangnya ia tidak tahu seperti apa perempuan yang cantik. Jika ia tahu, is pasti kagum dengan kecantikan manusia seberang.

Tapi ia tahu bagaimana wajah seseorang yang sedang bersedih. Ia kerap kali melihat ibunya bersedih saat berbicara dengan tuan dokter. Atau saat ibunya menatap foto ayahnya yang bekerja di kota yang jauh. Ia tahu. Maka ia yakin sekali, manusia seberang sering sekali bersedih. Ia kasihan.

Ia tak pernah bosan melihat manusia seberang. Tiap hari manusia seberang berganti gaun-gaun yang indah, dengan tatanan rambut yang selalu berubah. Tapi semakin lama, manusia seberang tampak semakin sedih. Manusia seberang seringkali tersenyum. Tapi selalu, senyum itu memperlihatkan isi hati yang bermuram durja. Hati yang lelah menggandeng petaka.

Rambut pirang manusia seberang semakin kusam, sejalan dengan kulitnya yang dulu seperti porselen. Matanya yang biru secerah langit semakin sayu, dan pada akhirnya dilingkari bayang-bayang hitam. Pipinya kini pucat, tak tampak lagi rona merah yang dulu selalu ada di sana. Manusia seberang juga semakin kurus, pada akhirnya tersisa hanya tulang berbalut kulit.

Lalu manusia seberang berhenti tersenyum. Senyum sedih pun tidak.

Kini ia memandangi jendela langit. Nama yang kemarin ia dan ibunya berikan untuk sebuah jendela yang menghadap ke langit luas, yang pemandangannya terus berganti seiring musim datang dan pergi. Ia dan ibunya menamai satu jendela setiap hari, sekadar hiburan bagi dirinya yang semakin rindu berkeliling melihat jendela-jendela. Rindu bertemu si manusia seberang.

Kaki-kakinya kini tak kuat lagi menapak bumi. Tubuhnya hanya bisa berbaring lesu di kamarnya seorang diri. Atau mungkin lebih tepat bahwa ia selalu berpeluk dengan sepi? Berselimutkan dinginnya sendiri? Beralaskan rindunya menatap sosok yang sempat siaga menyegarkan nurani?

Hari ini ia dan ibunya tak lagi punya jendela untuk dinamai. Kata ibunya, sekarang semua jendela sudah punya nama. Ia yang tak setuju mengingatkan ibunya, bahwa ada satu jendela lagi yang masih tak bernama. Ibunya bingung. Tak ada lagi jendela tersisa di rumah mereka. Ia yang ikut bingung menunjukkan letak jendela itu pada ibunya.

Ibunya tertawa.

Itu bukan jendela, jelas ibunya. Ternyata, apa yang ia kira jendela sejak lama sudah punya nama yang berbeda. Nama yang ia belum tahu sebelumnya. Ia yang mengantuk, menguap, lalu menanyakan nama benda itu pada ibunya.

Sambil menggeser selimutnya, ibunya membisikkan nama benda yang bukan jendela tersebut. Akhirnya ia tahu. Nama benda itu adalah cermin.

* * * * *

(( untuk semua manusia yang kadang tak sadar akan rupanya di mata dunia ))