Saturday 29 August 2009

Tentang Manusia Pinggir

Pada suatu zaman, tersebutlah dua kumpulan manusia. Keduanya terikat darah yang sama. Mereka bersaudara. Bahkan sempat dididik oleh kumpulan manusia yang sama. Kumpulan pertama lebih besar dari yang kedua. Sejak awal memang darahnya lebih beragam yang berkumpul. Kumpulan kedua yang lebih kecil, juga beragam, tapi ragamnya karena datang manusia dengan darah yang berbeda.

Kedua kumpulan selalu sibuk. Tapi kumpulan pertama biasanya lebih sibuk mengurusi apa yang terjadi di tengah-tengah kumpulan. Manusia yang sejak awal memang tersisih di pinggiran kumpulan, kini semakin terdorong ke tepian dan terlupakan. Walaupun sulit memang untuk dilupakan, saat mereka tak pernah diingat.

Manusia ini, terpojok, jatuh dalam kesendirian, saat mereka terselubung bayang-bayang kepentingan manusia yang berdiri di tengah kumpulan. Manusia ini, terkesima, karena ada tangan yang terulur, secercah sinar dalam pekatnya malam, tangan dari kumpulan yang di seberang. Kumpulan yang, pada akhirnya, merangkul manusia pinggir, merenggutnya dari kumpulan yang lebih besar.

Kumpulan pertama, menoleh, terasa olehnya, ada bagian dirinya yang dicabik dan ditarik. Ia mengadu dan mengaduh, pada tempat kumpulan-kumpulan mengadu dan mengaduh. Tapi sayang, bukan sebelumnya ia peduli. Apa yang ia miliki tidak dipeluknya erat-erat. Tidak dibangunnya dari terduduk. Tidak. Tidak seperti kumpulan kedua. Kini tersisa baginya hanya malu.

Kumpulan pertama, masih juga tak belajar. Bukan mulai menggenggam apa yang bisa digapai, ia ratapi apa yang telah lalu. Maka sejarah, yang belum cukup lama untuk jadi sejarah, berulang bagai deret aritmatika. Bukan meraih apa yang bisa dijangkau, ia raungi apa yang tinggal dahulu.

Kumpulan lain juga tak membantu. Bukan mendiamkan yang berseteru, dikeraskannya tangisan sendu. Dari belakang, di dorongnya kedua kumpulan. Dari tengah, dibakarnya sulut kemarahan. Di depan, ditarikannya lagu-lagu perang. Rangkai kata yang bersatu untuk membangun, kini dipraktikkan untuk meruntuhkan.

Kumpulan pertama pun berseru. Tak kuat lagi menampung pilu. Ah, dijawab pula oleh saudaranya. Dibalas pula dengan awal seteru. Dan mereka mendekat, tak puas pada jarak yang bisukan teriak. Dan mereka saling berhimpit, saling menghimpit, ditekan oleh kumpulan lain yang tertawa dalam hati.

Dan mereka hilang. Binasa. Jadi kisah bersama bagian yang katanya dibela. Hanya desah dalam uap darah dua saudara. Yang diperjuangkan sudah tiada. Tanpa bara tanpa abu, bahkan tanpa debu, lenyap terbakar amarah. Terpanggang emosi yang salah.

Tinggal gelak kumpulan lain yang membahana. Tak terdengar kumpulan-kumpulan yang ditulikan. Tak terlihat kumpulan-kumpulan yang dibutakan.



Apa itu yang diinginkan? Agar dua saudara hilang, tenggelam dalam luapan kesalahpahaman?

jadi untuk apa sih, semua ini? sekadar pemuas emosi? mengisi waktu luang, yang sebenarnya penuh tumpukan tugas lain yang tak juga selesai? buat apa merdeka, kalau yang merdeka malah berseru-seru minta perang? mau mati? sudah bosan dengan damai yang diberikan Tuhan?

apa pantas, bahkan di bulan suci, bukan jaga emosi malah ingin saudara-saudaranya mati dalam perang sekadar untuk puaskan emosi? apa pantas, persatuan yang katanya diganggu itu dipertaruhkan? setelah semua perjuangan pahlawan? setelah akhirnya direstui Tuhan??