Dahulu rusuk berasal dari inang. Dan inang yang berusuk mengarung di atas bahtera tanpa awak, tampak jelas ia tak pernah mengecap nikmatnya berbagi garam kehidupan.
Tapi sekarang bukan dahulu. Sekarang inang tak lagi sebatang kara. Untuk tiap inang yang menjejak bumi, ada rusuk yang menawarkan diri bertukar garam dan gula.
Dahulu inang terkurung oleh sepi, terbelenggu oleh sendu. Seribu langkah tak berarti saat kau seorang diri. Sendiri mengayuh bahtera dalam dunia yang tak berpenghuni. Tak kuasa inang mengibas rantai kesendirian. Malaikat menangis untuknya yang tak kenal rasa selain pahitnya sepi. Tapi itu sebelum rusuk memutuskan untuk peduli.
Sekarang aku juga didorong masa untuk peduli. Kumohon pada angin untuk bisikkan pada siapa aku harus peduli, tapi awan malah mencibir dan menyuruhku sendiri mencari. Mencari inang tempatku bersarang sebelum aku pergi untuk kembali.
Dahulu rusuk juga harus pergi jika ingin kembali. Izin Tuhan membolehkannya mencoba. Menggeliat ia dari rongga tubuh inang yang sudah buta akan perihnya derita. Inang tak sempat sadar, rusuknya tak lagi ada di tempat semula. Rusuknya pergi, keluar dari tubuhnya sampai sepanjang usia. Rusuknya pergi. Agar rusuk bisa kembali dan jadi sandaran untuk inang. Juga sepanjang usia.
Sekarang aku juga bersandar. Tapi belum kutemukan inang untuk jadi tempat bersandar. Setiap inang yang lewat kupandangi. Berharap satu akan bergegas datang mendekati.
Dahulu inang terbangun dari mimpi penuh siksa hanya untuk mendapati sesosok diri yang belum pernah ia dapati. Bukan megahnya surga yang membuatnya tunduk pada sang Khalik. Tapi apa yang baginya lebih indah dari taman-taman surga. Apa yang terlalu sulit untuk ia percaya.
Sekarang juga sulit bagiku untuk percaya. Bahwa apa yang kukejar berlari disampingku. Apa yang kupanggil berbisik ditelingaku. Apa yang kutunggu selalu duduk menemaniku. Apa yang kucari tanpa henti ternyata sudah sampai di ruang hati.
Dahulu inang tak lagi sendiri. Rusuk telah membuka kurung, memutus semua belenggu dan rantai. Inang bahagia, bahagia karena perginya rusuk untuk kembali. Tulusnya rusuk mengabdi pada inang dimanfaatkan oleh ia yang iri. Ia yang menjebak dalam bujukan dengki. Rusuk terjebak, menyeret inang dalam murka Tuhan. Tapi inang tak membuang rusuk.
Sekarang aku terjebak. Apa benar dia inang yang kucari? Yakin aku dia ada di dalam hati. Tapi bisa apa aku menerka adanya dusta dalam nurani? Mungkinkah ia masih mendekapku, bahkan jika aku terhasut menariknya dari gemerlap duniawi?
Dahulu inang dan rusuk diminta mengangkat kaki. Lagi-lagi pergi untuk akhirnya kembali. Tapi tidak sebelum mereka bertemu setelah berpisah. Tidak sebelum mereka berjaya dalam bendera khalifah. Dan mereka bertemu setelah berpisah. Dan mereka kibarkan bendera khalifah. Dan mereka kembali setelah pergi. Berdua menunggu banyak lagi buah hati mencicipi mati.
Sekarang aku masih tak bisa yakin benar tidaknya dia inangku. Dan memang tak akan bisa. Yang sekarang kutahu adalah mengabdi, sebagaimana rusuk diciptakan untuk mengabdi. Aku juga tahu berusaha. Berusaha aku percaya inang menuntunku sejak kami pergi dan sampai kami kembali. Sebagaimana inang diminta menuntun seisi bumi. Dan aku tahu mengasuh. Akan kuasuh inang dan rusuk yang kelak akan membentuk tiap sudut bumi.
Aku mungkin seorang abdi, tapi tanpa pengabdianku, inang tak kuasa menuntun bumi.
Aku juga seorang pengasuh, dan mereka yang kuasuh kelak akan jadi raja atas tanahnya sendiri.
Aku akan terus menjadi rusuk, rusuk yang pergi untuk kembali kepada inang.
- - - - - - - - - - - - -
(( aku ingin jadi rusuk. rusuk yang baik ))
Saturday, 28 November 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)